Bayangkan, menjadi penyanyi tunggal utama, penata musik, dan pastor pendamping di sebuah rumah ibadah. Lalu bayangkan semua tugas itu ditangani oleh satu orang. Itulah kira-kira separo tugas seorang cantor.
Seorang cantor bertugas memperingati setiap unsur penting dalam siklus kehidupan Yahudi. Kami melantunkan berkah-berkah untuk mengantar seorang anak ke dalam jemaat, untuk merayakan masuknya anak-anak itu ke dalam masa remaja, untuk menyatukan dua kehidupan bersama-sama, dan untuk mengantar seseorang dalam perjalanan dari kehidupan ke kematian.
Kami ikut bergembira bersama orang-orang yang bergembira, dan berduka bersama orang-orang yang berduka. Tapi bagaimana kami mesti memberikan respons kalau ada yang kehilangan sahabat tercinta berkaki empat, bukannya berkaki dua? Dan bagaimana kami menangani situasi ini kalau kami sendiri yang mengalaminya?
Beberapa tahun yang lalu, seekor kucing berbulu keperakan bernama Petey masuk kedalam kehidupanku. Sejak awal kami sudah menjadi tim yang kompak. Petey bertumbuh besar, enak dipeluk, dan punya kemampuan memikat untuk berpegangan tangan denganku, menggunakan kedua kaki depannya, dengan genggaman mantap.
Ketika bertemu dengan calon suamiku, Mark, aku hendak mengajukan pertanyaan penting itu, apakah ia suka kucing?. Tapi Mark sudah lebih dulu menyebutkan tentang Julia, kucingnya sendiri yang berbulu hitam putih.
Pertama kali aku dan Mark duduk bersama di sofaku, Petey meregangkan tubuhnya supaya bisa duduk dipangkuan kami berdua sekaligus. Lalu ia menatapku dengan ekspresi yang seolah-olah mengatakan "Boleh aku pelihara manusia yang satu ini?" Maka demikianlah, rumah tangga kami memiliki 2 ekor kucing dan 2 manusia yang diizinkan tinggal bersama mereka, selama 2 manusia ini masih membayar sewa.
Pada hari Sabbath pertama di rumah, sekonyong-konyong kami memperhatikan Petey dan Julia duduk di lantai dapur, mengamati setiap gerakan kami. Kami menyalakan dan memberkati lilin-lilin bersama sama. Mereka terus mengamati selama kiddush dan motzi, doa - doa yang diucapkan sebelum anggur dan makanan, setelah itu mereka beranjak pergi. Pada hari Jumat berikutnya, dengan menggunakan kata Yahudi untuk Sabbath, kami berseru, "Hei, kucing-kucing Shabbos!". Mereka masuk ke dapur dan duduk diam selama upacara, setiap minggu sebelumnya.
Hukum Yahudi mengharuskan penghuni rumah mengurus binatang-binatang yang ada di rumahnya, termasuk memberi makan terlebih dahulu pada binatang itu sebelum si penghuni rumah sendiri makan. Sebagai pecinta binatang keturunan Yahudi, kami menuruti hukum itu, dan kami semua merasa bahagia dengan kasih sayang yang tumbuh dari hubungan 4 arah ini.
Tahun demi tahun berlalu dengan penuh kebahagiaan. Pada umur 14 tahun, Petey mulai kehilangan kilau bulunya, tapi perasaan sayangnya kepada kami tidak berubah. Namun, seperti orang tua yang tidak mengerti mengapa kehidupan tidak berjalan seperti ketika ia masih muda, Petey kadang-kadang menunjukkan sikap kesal. Namun, ia tetap kucingku yang cantik, dan kami semua pindah dari New York ke Albuquerque ketika aku mendapat tugas di daerah Barat. Kedua kucing kami tampaknya senang dengan perubahan suasana ini, dan sepertinya bahagia sekali di rumah baru mereka.
Pada suatu hari Senin, beberapa bulan setelah kepindahan ini, aku membawa Petey ke dokter hewan untuk mencari tahu kenapa ia selalu memuntahkan makanannya. Dokter memberi resep bubuk enzim, dan Petey terus makan, tetapi tidak ada perubahan. Pada hari Jumat malam, keadaannya sangat menyedihkan. Betapapun kami berusaha membuatnya merasa nyaman, ia menangis seperti bayi saat berjalan, duduk di pangkuanku, atau menempelkan diri di jendela yang dingin. Kami sedih sekali melihatnya. jelas bahwa waktunya sudah dekat, tapi ia tidak akan melaluinya dengan mudah.
Akhirnya, karena terlalu lelah untuk berjuang lebih lama, ia tidur gelisah diantara aku dan Mark di tempat tidur. Ia menggenggam tanganku diantara cakar-cakarnya yang masih kuat, sementara aku memeluknya dan membisikkan ucapan terima kasih serta kasih sayangku padanya. Sepanjang malam aku berjuang antara keinginan untuk mempertahankannya dan menghadapi kenyataan untuk merelakannya. Pagi harinya kami cepat-cepat membawa Petey ke dokter hewan, tetapi Petey rupanya mempunyai rencana lain. Ia meninggal begitu sampai di tempat praktek dokter hewan.
Kematiannya meluluhkan kami. Kami menangis tak terkendali, dengan perasaan sedih yang tak terbayangkan. Itulah harga yang musti dibayar atas kasih sayang kami padanya. Lebih berat lagi, 2 jam lagi upacara Sabbath akan dimulai. bagaimana mungkin aku bisa menjalankan tugasku secara profesional kalau hatiku sedang terkoyak-koyak seperti ini? Hanya orang-orang yang pernah memiliki hewan peliharaan akan bisa memahami sepenuhnya perasaan kehilangan itu. Yang takkan terhapuskan seberapa pun besarnya simpati yang diberikan. Apakah sang rabbi dan para jemaat akan memahami kesedihan yang kurasakan atas kematian kucingku ini?
Tapi tak mungkin aku mundur dari tugasku. Kami mesti berada bersama jemaat kami, di rumah ibadah kami pagi itu.
Ketika aku tiba di Sinagoga, Mark sedang berkabung di ruang kerjaku, menghubungi teman-teman dan keluarga yang mengenal dan juga menyayangi Petey. Aku mendatangi sang rabbi dan menceritakan apa yang terjadi. Ia menatapku dengan lembut dan penuh pengertian, dan aku bisa merasakan ketulusannya dalam kata-kata penghiburan yang ia ucapkan.
Aku terkejut ketika ia berkata"Jalani tugasmu sebisanya pagi ini. Aku akan membantu kalau kau gugup> Kau memerlukan dukungan jemaatmu hari ini. Dan kurasa kita mesti memberitahukan apa yang sudah terjadi ketika upacara selesai."
Dukungan ini membuatku bisa bertahan menjalankan tugasku. Nada-nadaku berkumandang, tapi antusiasmeku yang biasanya, menurun drastis. Sang rabbi tahu bahwa jemaat akan memperhatikan hal ini, dan kami akan menjawab pertanyaan yang pasti muncul dengan jawaban yang jujur.
Selesai upacara, aku merasa ragu menyalami para jemaat satu persatu. Aku masih belum yakin, seperti apa reaksi mereka terhadap rasa dukaku karena kematian seekor kucing. Bagaimanapun aku adalah cantor mereka yang biasanya tegar. Dengan perasaan agak ngeri kulihat Bu Gold menghampiriku. Selama beberapa bulan ini, aku memberi pengarahan tentang studi-studi religius pada anak laki-lakinya, dan aku mendapati keluarga Gold ini sangat tidak fleksible dan sangat menuntut. Tapi ketika wanita itu semakin dekat, kulihat matanya memancarkan rasa iba. Ia memelukku dengan lembut, sambil berkata, "Rabbi sudah menceritakan tentang Petey anda. Aku ikut sedih. Memang berat kehilangan teman tercinta."
Lalu ia melepaskan pelukannya dan kami saling tersenyum, wajah kami basah oleh air mata.
Demikianlah, para anggota jemaat bergantian menggenggam tanganku atau memelukku sambil memberikan pernyataan turut berduka cita. Kulihat Mark juga mengalami hal yang sama. Gelombang penghiburan ini menyapu kami seperti madu hangat, bagi kami yang merasakan kesedihan karena kehilangan Petey.
Dan walaupun kami kehilangan teman tercinta, tapi kami juga menemukan sesuatu, orang-orang dalam jemaat kami, suatu keluarga besar dan penuh cinta untuk tempat kami berbagi hidup. Semasa hidupnya, Petey telah menyatukan banyak orang, dan kucing Shabbos kami itu masih terus memberikan pengaruh yang sama, bahkan dengan kematiannya.
oleh : Jacqueline Shuchat-Marx
dari buku : Chicken Soup for the Dog & Cat Lover's Soul
No comments: Kucing sang Cantor
Post a Comment